Sebuah Surat yang Bercerita

Tangerang, 25 April 2014

Kepada Perempuan yang (Entah Mengapa) Memanggilku dengan Sebutan ‘Zus’

Hai, Ika Fitriana.

Entah harus senang atau tidak dengan mentionmu di akun twitterku. Rasanya seperti diingatkan kembali untuk menulis sesuatu yang random. Ya barangkali juga serandom ide di kepalamu saat kau menulis postingan Dear Zus itu. But well, lets call random as cool. Deal?

Jujur saja, aku sudah lama tidak menulis surat. Aku lebih sering menulis puisi (seperti yang kau tahu) di http://karenapuisiituindah.tumblr.com/ dan bila bukan karena mentionmu, aku pasti akan sangat malas memposting sesuatu lagi di blog ini. Kemarin saja aku lupa apa passwordnya.

Baiklah. Sebenarnya aku tidak tahu harus bercerita tentang apa. Tampaknya semua ide begitu sulit dituangkan dalam sebuah surat. Tapi baiklah, mari kucoba perlahan-lahan.

Mari kuceritakan singkat saja. Ini adalah sebuah kejadian besar dalam hidupku.

Sejak awal tahun 2014 ini, kegiatanku sepenuhnya kulakukan di rumah. Kandunganku menginjak usia sembilan bulan atau 36 minggu (more or less). Dan rasanya sungguh perjuangan sekali membawa-bawa Utun (bayi dalam perut – bahasa sunda, red) kemana-mana.

Hari Jumat, tanggal 28 Februari 2014, Utun lahir. Aku ingat sekali bagaimana prosesnya. Pukul empat subuh aku mendadak saja terbangun dan langsung berdiri. Kurasakan ada air mengalir agak deras menuju telapak kakiku. Dan tentu saja, dengan berbekal pengetahuan dari buku dan google, aku tahu bahwa proses melahirkan sudah dekat sekali.

Aku sudah mempersiapkan semuanya dalam sebuah koper yang tidak bisa kusebut berukuran kecil. Jadi tanpa sibuk mengurus ini dan itu, aku menuju kamar orangtuaku dan membangunkan mereka. Di tahap itu, jujur saja tidak ada sakit yang terlalu kurasa. Sehingga saat itu, aku masih bisa bercakap-cakap seperti biasanya.

Ah ya, mungkin kau bertanya-tanya di mana suamiku? Mengapa bukan dia yang kubangunkan? Ya, aku membangunkannya. Namun dia ada di kota lain. Kami memang masih harus menjalani hubungan LDM – Long Distance Marriage karena pekerjaan.

Pukul setengah enam pagi aku mulai diperiksa seorang bidan di rumah sakit. Dokter kandungan belum bisa datang karena proses melahirkan pun belum terlalu dekat. Saat diperiksa oleh salah satu bidan di sana, dia berkata bahwa proses melahirkan masih di tahap pembukaan satu.

Pukul enam aku masuk ke ruang rawat. Dan di sini aku mulai merasakan perutku sakit sekali. Bukan main sakitnya. Sepengetahuanku, proses pembukaan akan berlangsung paling lama selama empat belas jam. Kau bisa bayangkan itu? Empat belas jam aku harus merasa kesakitan yang teramat sangat. Aku hampir saja menyerah. Hampir. Batas kekuatanku sepertinya mulai terlihat. Aku tahu bagaimana sakitnya perut ini saat mengalami datang bulan setiap bulan, dan itu kukatakan sakit sekali. Dan bila kau ingin tahu sakit yang sedang kuceritakan ini berapa kali lipatnya, ini seperti ratusan kali lipat dari sakit datang bulan. Ratusan kali, Ika. Dan aku sedang tidak bercanda.

Tepat saat aku sedang kesakitan yang teramat sangat, kakakku yang juga seorang perempuan (dan sudah menjadi seorang ibu dari seorang putri berusia lima tahun) sudah ada di sampingku. Membisikkan kalimat-kalimat penyematan, mengingatkanku untuk membaca doa-doa penenang. Entah apa jadinya bila tak ada dia. Aku ingat beberapa kalimat yang dia bisikkan di telingaku kala itu :

‘Ayo, De. Tahan dulu sakitnya. Sabar, sabar, sabar. Kamu pasti kuat. Kamu pasti bisa. Memang begitu sakitnya. Kakak pun dulu sakit. Dan kakak kuat. Jadi kamu juga pasti kuat. Pasti. Ayo dibaca terus doanya. Dibaca terus’.

Aku tidak henti-hentinya berdoa dan berdoa, sambil terus kupandangi jam dinding yang sepertinya lambat sekali berputar. Aku ingat aku mulai berbicara pada Utun. Kuusap-usap perutku sendiri sambil berkata,

‘Utun, kamu keluarnya jangan lama-lama ya. Biar saja mama melahirkan tidak ditemani Papa. Kamu keluar saja segera. Ini sakit sekali rasanya, Nak. Sakit sekali. Papa masih dalam perjalanan. Jadi kamu keluar saja segera ya’.

Pukul delapan kurang lima belas menit, seorang bidan kembali mendatangi ruang rawatku untuk melakukan pengecekan. Ternyata dia bilang, pembukaan sudah sampai di tahap lima. ‘Ibu Tia, ini ibu cepat lho prosesnya. Ibu beruntung sekali’, kudengar ia berkata demikian. Yang kusadari berikutnya adalah aku sudah dibawa ke ruangan bersalin. Banyak sekali suster dan bidan yang ada di sana. Entah berjumlah berapa. Barangkali enam atau tujuh atau delapan. Entah. Mana sempat aku menghitungnya, kan?

Tidak lama kemudian dokter kandungan datang. Dia sempat bertanya, ‘bagaimana ibu Tia, masih mau melahirkan normal, kan? Jika iya, ayo yang semangat’.

Akhirnya proses itu pun tiba. Aku panik, tentu saja. Kekhawatiran-kekhawatiran mulai muncul. Kekhawatiran seperti: apakah anakku akan lahir dengan selamat dan normal segalanya? Apakah aku akan baik-baik saja nanti setelah melahirkan? Apakah aku masih hidup? Karena bila tidak, bagaimana aku bisa mbertemu lagi dengan suamiku? Bagaimana aku akan menggendong bayiku? Ah, memang sudah kemana-mana pikiranku saat itu.

Aku ingat teori melahirkan ‘mengejanlah ketika dokter memintamu mengejan’. Tapi ya Tuhan, aku sungguh tidak bisa menahannya. Ada saat di mana aku mengejan begitu saja tanpa bisa kukendalikan. Proses mengejan terbilang tidak lama. Aku ingat begitu banyak suara-suara menyemangatiku. Suara-suara seperti ‘AYO BU, IBU PASTI BISA’ atau ‘AYO, BU. SEBENTAR LAGI. ITU SUDAH TERLIHAT RAMBUTNYA’ dan ‘AYO, BU. SEMANGAT TERUS. SEDIKIT LAGI’, yang ternyata diteriakkan oleh sejumlah suster dan bidan yang ada di sana. Barangkali memang itu adalah tugas sampingan mereka, selain membantu dokter kandungan tentu. Dan jujur saja, mereka berhasil.

Di tengah perjalanan proses mengejan, dokter beberapa kali mengecek denyut jantung Utun. Sampai pada tahap di mana denyutnya dokter rasa mulai melambat, dia memutuskan untuk menggunakan alat bantu berupa vacum. Iya, Utun berhasil lahir dengan bantuan vacum. Yang lucu dari cerita vacum ini adalah bahwa tepat ketika vacum tersebut hendak digunakan, alat itu justru patah. Dokter sempat bersuara kesal, ‘Ini kok malah patah sih?’, yang membuat aku sedikit panik. Tapi untunglah, mungkin kerusakan alat itu tidak parah sehingga tidak sampai lima menit alat tersebut bisa langsung dipakai.

Pukul delapan lebih tiga puluh delapan. Akhirnya Utun lahir ke dunia ini. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Rasanya tidak ada kebahagiaan sebesar itu. Sungguh. Ini lebih membahagiakan daripada saat aku berhasil masuk ITB, dapat beasiswa S2, atau menerbitkan buku karyaku sendiri. Dan kau tahu Ika, rasanya saat itu aku ingin memeluk Mamaku. Betapa sungguh perjuangannya sebesar ini untuk melahirkanku ke dunia. Sekarang aku tahu. Sekarang aku sudah merasakannya langsung. Memang benar kan, tidak akan bisa benar-benar merasakan sampai hal itu dialami sendiri.

Utun lahir dengan berat badan 3,3 kg, panjang 50 cm, dan pipinya sungguh bulat sekali, seperti aku, ha! Dia akhirnya diadzani oleh kakeknya, karena papanya saat itu belum juga tiba. Saat itu, aku dan suami belum menentukan dengan pasti nama lengkap utun. Kami baru menetapkan nama depannya saja, yaitu Alvaro.

1606988_10152041332568867_1974789326_n

utun

Satu hal yang juga membahagiakan adalah moment ketika suamiku (yang sayangnya masih menunggu pesawat ke Jakarta) menelpon dari bandara di kotanya. Dia berkata, ‘Terima kasih ya, Sayang’.

I know, it was a short sentence.

But you should know, it was priceless.

Rasanya seperti ada yang menetes hangat dari kedua mataku saat itu.

Well, Ika. Sepertinya aku hanya bisa bercerita itu padamu kali ini. Alvaro terbangun dari tidurnya. Gotta go.

Thank you for giving me a chance to write here again. Honestly, it is like a compulsion. Haha. Good day to you.

 

– Tia Setiawati

 

September dan Kuis karenaseptemberituceria

Hey you!

Ini sudah bulan September lho. Tepatnya sudah hari ke-dua di bulan September. Ini lah bulan kesukaan saya dalam satu tahun. Kenapa? Sederhana kok. Karena bulan ini saya berulang tahun. Hahaha, agak bocah yes? Ah tak apa, bahkan setiap manusia yang mengaku dirinya paling dewasa pun selalu memiliki sisi anak kecil yang tidak disadarinya kan? 😛

Anyway, hari Selasa minggu lalu (tepatnya 28 Agustus 2012) 200 eksemplar buku karenapuisiituindah (yang sudah oke) akhirnya mendarat di rumah saya juga. YEAY! happy? I am more than happy, hehe.

ALHAMDULILLAH

Dan moment ini bertepatan juga dengan bulan September. Oleh karena itu, sekedar berbagi kebahagiaan, saya memutuskan untuk membuat kuis karenaseptemberituceria. Kuis ini ada dua bagian. Mari-mari, baca dulu sampai selesai ya. Saya akan mulai satu demi satu (ehem).

Continue reading

It’s The First Launch of Karenapuisiituindah

Hai, teman-teman. Selamat malam (Minggu).

Kalau malam ini kamu stay di rumah saja, ga usah risau dan galau. Kita senasib kok. Makanya saya mau bagi-bagi sedikit cerita biar kalian ga kesepian. 😛

Okay, saya tidak akan banyak cas-cis-cus, karena niat saya posting adalah untuk mengabadikan cerita pada tanggal 15 Juli 2012 lalu.

Ada apakah di tanggal 15 Juli 2012?

Nah, kalian belum lupa dengan postingan sebelum ini kan? Coba agak di geser kursornya ke bawah. Sudah? Nah, betul sekali. Itu adalah postingan undangan acara launching pertama buku kumpulan puisi pertama saya : karenapuisiituindah.

This is it!

Acara launchingnya sendiri berlangsung di sebuah book store imut : 7th Heaven, Jl. Bengawan no 34 Bandung.

7 Heaven, Bandung.

Continue reading

BERPUISI ITU INDAH – TIA SETIAWATI’S PROUDLY PRESENT

Hallo, semuanya 🙂

Seperti janji saya di postingan yang ini, ini lah jawaban atas semua pertanyaan kalian terkait detail acara launching buku puisi pertama saya

: karenapuisiituindah

BERPUISI ITU INDAH

TIA SETIAWATI’S PROUDLY PRESENT

Cover Depan

Hadirilah!

Peluncuran buku Puisi ‘Karenapuisiituindah’, buku puisi pertama Karya Tia Setiawati, yang akan diselenggarakan :

Hari dan Tanggal   : Minggu, 15 Juli 2012

Waktu                       : 15.00-17.30

Tempat                    : 7th Heaven, Jl. Bengawan no 34 Bandung

Fee                             : Free

Dapatkan bukunya, dengan memesannya melalui email karenapuisiituindah@yahoo.com untuk diambil saat launching (atau bisa juga diantar ke rumah kamu). Saat mengambil buku ini di acara launching, harap bawa bukti pembayaran kamu ya.

Ayo! Bersajak manis di hari Minggu  dalam  keasrian atmosfir Bandung sore hari. Bebaskan imaji dan Berpuisilah!

Karena Puisi Itu indah.

PS : untuk yang sudah preorder, silahkan cek email kalian ya. Undangan ini terbuka untuk semua orang yang ingin hadir.

Salam hangat sehangat hot cokelat.

Jakarta, 9 Juli 2012

– Tia Setiawati Priatna

Review Trave(Love)Ing – Hati Patah Kaki Melangkah

Selamat pagi, teman-teman. It’s been a long time since the last time I wrote this blog. Do you miss me? Hihi

Anyway, postingan kali ini akan saya khususkan untuk mereview tentang sebuah buku. Well, you know how I love reading books. Jikalau mungkin, ingin rasanya membuka perpustakaan pribadi, dengan setiap ruangnya terbagi menjadi klasifikasi-klasifikasi tersendiri. Misalnya : fiksi, nonfiksi, pengetahuan umum, agama, komik, dan lain-lain. Duh, saya melantur. Hahaha, baiklah, mari kita mulai reviewnya.

Cerita akan saya mulai dengan asal muasal mengapa akhirnya saya berniat mereview buku ini. Karena sejujurnya, walaupun saya sangat suka membaca dan selalu mempublish kalimat-kalimat dari setiap buku yang saya baca di media social (twitter terutama), saya butuh lebih dari sekedar waktu yang fokus untuk menulis sebuah review. So, here it goes.

One day, salah satu penulis buku ini (Mia Haryono) menghubungi saya. Dia meminta saya untuk menjadi salah satu draft reader nya. As I said before, I love reading books so much. Mungkin itulah yang menjadi dasar mengapa Mia meminta saya untuk menjadi draft readernya. Akhirnya, di sela-sela kesibukan, saya berhasil mengirimkan hasil yang diminta (walaupun sebenarnya saat itu saya belum selesai membacanya). But no worries, saat saya membuat postingan ini, saya sudah selesai membaca bukunya (tentu saja). Bahkan besar kemungkinan, buku ini akan menjadi buku yang akan saya baca berulang-ulang. You want to know why? J

Beberapa waktu setelah buku ini resmi terbit dan dapat dibeli di semua toko buku terkenal di sekitar kita (if you know what I mean), Mia menghubungi saya lagi untuk menanyakan alamat rumah saya. Ternyata dia dan ketiga penulis lainnya ingin mengirimkan buku ini (it’s a very kind of them to give me this book, for FREE). Tapi ada catatannya : saya harus membuat review di blog saya. Nah, this is why I want to post this review. I hope you read this, and in the end, you’ll buy the book, haha.

This is it; Trave(Love)ing

Apa yang ada di benak kamu ketika mendengar kata ‘travel’ and ‘love’? Jawabannya bisa berbagai macam hal memang. Antara traveling untuk mencari cinta, traveling untuk menyembuhkan sakit hati karena cinta, atau bahkan traveling yang tidak disengaja dan pada akhirnya bertemu dengan cinta. Yang mana yang menurutmu paling menyenangkan? Well, sepertinya yang terakhir ya? Hehe. Tapi hidup tidak melulu harus tentang apa yang menyenangkan. Terkadang kita harus mengenal dan merasakan sakit agar lebih menghargai saat-saat bahagia, saat-saat dimana seseorang mampu membuat kita tersenyum lalu kemudian tertawa. Terkadang, sakit mampu mendewasakan. Semoga.

Ketika pertama kali saya membaca draft buku ini, ada beberapa hal yang sempat terbersit di benak saya : betapa saya menyukai tema yang disuguhkan buku ini, betapa saya merasa buku ini kaya akan pembenahan diri dan rasa optimis, betapa saya rasa pembacanya akan diberikan beberapa rasa sekaligus (if you want to know what are those, you have to read this book, really).

Traveloving adalah buku yang unik, menarik, dan segar untuk dibaca. Kenapa? Karena selain gaya penuturan bercerita keempat penulisnya yang seru, kocak, mengharukan, serta mudah untuk dipahami, buku ini juga menyuguhkan hal-hal menarik seperti adanya permainan rhyme (pantun dalam bahasa inggris) yang sangat saya suka. Pembaca akan dibuat tersenyum-senyum sendiri ketika membaca rhyme demi rhyme yang mereka suguhkan. Di sini, yang bisa saya katakan adalah ‘wow, how talented they are’.

Selain itu, buku ini tersusun atas pengalaman pribadi keempat penulisnya. Salah satu point menarik bukan? Cerita yang berasal dari pengalaman pribadi penulisnya selalu mampu membuat saya tertarik dan terkagum-kagum. Terlebih, buku ini adalah mengenai pergi ke suatu tempat untuk menyembuhkan sakit hati. Kamu sempat berpikir seperti itu? Saya rasa, butuh lebih dari sekedar modal materi, tapi juga modal keberanian dan tekad yang kuat. Inilah mengapa, buku ini menjadi buku yang menarik dan sangat layak untuk kamu baca (terlebih jika kamu memang sedang patah hati).

Continue reading

C’est la vie

Halo, selamat weekend! 🙂

Saya ingat, sudah dua bulan saya tidak pernah update blog ini. I am soooo sorry. Kesibukan pekerjaan membuat saya memiliki sedikit sekali waktu untuk mengisi ini. Masalahnya, saya merasa harus fokus untuk mengisi blog yang ini. Bukan hanya sekedar curahan hati yang isinya sekedar emosional, hihi.

Anw, kemarin saya bertemu seorang teman lama. Sebutlah namanya F. Kami memang sengaja bertemu sekedar meluangkan waktu. Saya sedang jalan-jalan sendirian di sebuah mall yang kebetulan letaknya dekat sekali dengan F, dan jadilah kami memutuskan untuk bertemu, sekedar mengobrol dan yah lumayan membuat segar pikiran karena bisa bercakap-cakap sambil bernostalgia.

F adalah sorang teman SMP saya. Kami dulu sempat dua tahun satu kelas. Dan yah, bisa ditebak, kami sudah sama-sama tau sifat dan karakter  masing-masing, dan saya menikmati berbincang dengan dia dalam waktu yang tidak diburu-buru.

Selayaknya dua orang teman lama yang akhirnya bertemu kembali, percakapan dimulai dengan saling menanyakan kabar masing-masing. Yah, you know, pertanyaan sejenis ‘Sekarang lo sibuk apa?’ ‘Kerja dimana?’ ‘Kuliah S2 lancar? (kalau yang ini murni karena kami sama-sama memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke S2. Untungnya saya lulus lebih dulu dari F, hihi’. Setelah pertanyaan dan obrolan standar, lalu percakapan sempat diberikan jeda dengan sekedar menanyakan kabar teman-teman yang memang masih berada dalam ‘radar pertemanan’ kami. Dan kemudian, akhirnya, F mulai dengan bertanya masalah personal life.

Uniknya saya dan F, walaupun kami adalah dua orang teman dengan jenis kelamin yang berbeda (yap, F ini cowok), tapi saya merasa, pola pikir dia mirip dengan pola pikir saya. Mungkin ini yang menyebabkan, saya menikmati bisa bertukar pikiran dengan dia. Mungkin.

And here it goes!

Continue reading

10 Things I Need To Survive

My goal in life is to survive. Everything else is just a bonus.

Seperti yang sudah-sudah, hari-hari tidak selalu berjalan terus dengan kelancaran dan berakhir dengan kebahagiaan.

Here’s the thing that I wanna share : 10 things I need to survive (yes, I’m a pleasure seeker)

  1. Talk to Him
  2. My dad
  3. A (real) friend
  4. Books
  5. To be alone
  6. A cup of (hot) tea
  7. Blogging
  8. Chocolate
  9. Fresh air
  10. Sleep

So, what’s yours? 😉

Focus, or you may lose

Multitasking means screwing up several things at once.
– A friend of mine, dalam sebuah status BBM nya pagi ini

Hello again, you. Miss me? (oke, jangan dijawab, nanti saya tersipu malu, hihihi)

Sesuai dengan quote yang sudah saya pasang di awal postingan ini, I have a short story to tell. Sekedar mengisi waktu makan siang yang tidak diniati untuk makan, saya akhirnya iseng menulis ini.

Pagi ini, saya berangkat ke kantor lebih pagi dari waktu jika saya terlambat (baca : tepat waktu, hahaha). So, I have a very fresh mind. Sudah banyak perbekalan makanan di mobil, untuk menemani saya ketika saya mengantuk nanti. Dan perjalanan menit demi menit pun berlangsung biasa saja.

Fyi, rute rumah sampai kantor saya adalah seperti ini :
Rumah (kunciran-tangerang) – Bintaro – Tol JORR (keluar Pasar Minggu Depok) – Warung Buncit – Kalibata (kantor)

Setiap hari, saya biasanya menghabiskan waktu sekitar 2 jam, bisa kurang ataupun lebih (lebihnya lebih banyak daripada kurangnya, as you know) jika saya masuk tol. Jika lewat jalan biasa, bisa 2,5 jam paling cepat (euww, saya tua di jalan memang. Tolong jangan dibahas). Pagi ini, semuanya lancar-lancar saja, dari rumah sampai keluar tol jalanan masih bersahabat. Lalu ketika masuk wilayah Warung Buncit, jalanan sudah diserbu mobil yang terlihat seperti semut-mengerumuni-gula. Situasi ini sudah biasa sebenarnya. Namun saya melakukan sebuah kebodohan.

Saya biasanya bersiap untuk belok ke jalan yang menuju Kalibata, tepat di depan KFC Warung Buncit. Tadi pagi, saya tidak melihat KFC sama sekali. Hanya kantor Imigrasi lalu tiba-tiba kok sudah ada di depan Balai Hermina Mampang. ‘Apa-apaan ini?’, kata dalam hati saya. Jadi, antara panik dan tidak, saya mencoba mencari kesadaran saya yang entah ada dimana. Lalu dengan macet yang begitu lama, saya baru menyadari sesuatu : saat macet dari mulai Warung Buncit tadi, saya sudah asik bermain twitter.

Jadi, untuk kasus yang ini saya menyalahkan twitter? Uhmmm, hard to answer. Tapi yang paling utama, saya menyalahkan diri saya sendiri. Saya kehilangan moment untuk sampai kantor jam 8 pagi. Terlewat satu perempatan menuju ke Kalibata berarti menghilangkan satu jam.

enough said, what my friend said about multitasking… sometimes it’s true.

Been there, done that.

Focus, or you may lose.

Happy lunch! 😉

 

It’s a Cruciatus for a Blue Bird

Hallow, lama sekali rasanya tak menyapa blog ini. Sementara keinginan untuk menceritakan berbagai macam hal menumpuk dan semakin menumpuk.

Akhirnya, I have this time (literally) to (at least) tell you a story. Saat ini pukul 10 pagi lewat sedikit, waktu Bandara Soetta. Yes, saya lagi menunggu next flight yang sayangnya ada di jam 2 siang ini.

Why next flight? Karena saya terlambat di flight yang seharusnya, yang ada di jam 9.25.

Mari kembali ke beberapa jam sebelum kejadian sangat tidak menyenangkan (you may read it as : late) terjadi.

Jadi, pagi yang berlangsung di rumah saya adalah normal. Tidak ada grasak-grusuk karena saya bangun tepat waktu. jam 6 saya sudah siap, semua barang sudah ter-pack dengan baik, sudah siap sarapan, dan sekitar jam 7 kurang 15, saya sudah duduk manis menunggu dijemput taksi.

Jam 7 akhirnya lewat, saya agak bertanya-tanya, katanya si taksi yang saya reserve kemarin malam itu selalu datang 5-10 menit lebih awal, tapi nyatanya sampai jam 7 lewat 10 menit, dia belum juga datang.

Akhirnya, jam 7 lewat 20 menit, dia baru nongol.

‘Saya nyasar, mba. makanya agak telat’

‘Oke, pak. Yang penting Bandara ya, saya check in jam 9 paling telat’

Setelah percakapanan singkat itu, saya sungguh tidak ambil pusing. Saya sungguh hanya ingin segera sampai bandara, sampai Batam, datang ke meeting lebih cepat. Lalu tiba-tiba sampailah pada jalan yang macet (kalau saya ga salah ingat, nama jalan itu adalah Jalan Pembangunan, Tangerang). Total. Tidak bergerak.

Jam di tangan saya menunjukkan pukul 8.30. Stupid thing about this is : I have a very bad feeling about getting late, but I do nothing. Instead of naik ojek, saya malah bertanya :

‘Pak, ga tau jalan lain selain ini?’

‘Tau, mba. lewat Kalideres situ’

‘Itu bukannnya jauh?’

‘Lumayan sih, cuma kan ga macet’

‘Yakin bisa sampe sana jam 9’

‘Yakin, mba’

‘Sepertinya ada jalan lain, selain ini, tapi tidak sejauh kalideres. bapak ga tau?’

kemudian hening

‘jangan-jangan, bapak ga pernah ke bandara dari sini?’

kemudian hening (lagi)

Continue reading