Sebuah Surat yang Bercerita

Tangerang, 25 April 2014

Kepada Perempuan yang (Entah Mengapa) Memanggilku dengan Sebutan ‘Zus’

Hai, Ika Fitriana.

Entah harus senang atau tidak dengan mentionmu di akun twitterku. Rasanya seperti diingatkan kembali untuk menulis sesuatu yang random. Ya barangkali juga serandom ide di kepalamu saat kau menulis postingan Dear Zus itu. But well, lets call random as cool. Deal?

Jujur saja, aku sudah lama tidak menulis surat. Aku lebih sering menulis puisi (seperti yang kau tahu) di http://karenapuisiituindah.tumblr.com/ dan bila bukan karena mentionmu, aku pasti akan sangat malas memposting sesuatu lagi di blog ini. Kemarin saja aku lupa apa passwordnya.

Baiklah. Sebenarnya aku tidak tahu harus bercerita tentang apa. Tampaknya semua ide begitu sulit dituangkan dalam sebuah surat. Tapi baiklah, mari kucoba perlahan-lahan.

Mari kuceritakan singkat saja. Ini adalah sebuah kejadian besar dalam hidupku.

Sejak awal tahun 2014 ini, kegiatanku sepenuhnya kulakukan di rumah. Kandunganku menginjak usia sembilan bulan atau 36 minggu (more or less). Dan rasanya sungguh perjuangan sekali membawa-bawa Utun (bayi dalam perut – bahasa sunda, red) kemana-mana.

Hari Jumat, tanggal 28 Februari 2014, Utun lahir. Aku ingat sekali bagaimana prosesnya. Pukul empat subuh aku mendadak saja terbangun dan langsung berdiri. Kurasakan ada air mengalir agak deras menuju telapak kakiku. Dan tentu saja, dengan berbekal pengetahuan dari buku dan google, aku tahu bahwa proses melahirkan sudah dekat sekali.

Aku sudah mempersiapkan semuanya dalam sebuah koper yang tidak bisa kusebut berukuran kecil. Jadi tanpa sibuk mengurus ini dan itu, aku menuju kamar orangtuaku dan membangunkan mereka. Di tahap itu, jujur saja tidak ada sakit yang terlalu kurasa. Sehingga saat itu, aku masih bisa bercakap-cakap seperti biasanya.

Ah ya, mungkin kau bertanya-tanya di mana suamiku? Mengapa bukan dia yang kubangunkan? Ya, aku membangunkannya. Namun dia ada di kota lain. Kami memang masih harus menjalani hubungan LDM – Long Distance Marriage karena pekerjaan.

Pukul setengah enam pagi aku mulai diperiksa seorang bidan di rumah sakit. Dokter kandungan belum bisa datang karena proses melahirkan pun belum terlalu dekat. Saat diperiksa oleh salah satu bidan di sana, dia berkata bahwa proses melahirkan masih di tahap pembukaan satu.

Pukul enam aku masuk ke ruang rawat. Dan di sini aku mulai merasakan perutku sakit sekali. Bukan main sakitnya. Sepengetahuanku, proses pembukaan akan berlangsung paling lama selama empat belas jam. Kau bisa bayangkan itu? Empat belas jam aku harus merasa kesakitan yang teramat sangat. Aku hampir saja menyerah. Hampir. Batas kekuatanku sepertinya mulai terlihat. Aku tahu bagaimana sakitnya perut ini saat mengalami datang bulan setiap bulan, dan itu kukatakan sakit sekali. Dan bila kau ingin tahu sakit yang sedang kuceritakan ini berapa kali lipatnya, ini seperti ratusan kali lipat dari sakit datang bulan. Ratusan kali, Ika. Dan aku sedang tidak bercanda.

Tepat saat aku sedang kesakitan yang teramat sangat, kakakku yang juga seorang perempuan (dan sudah menjadi seorang ibu dari seorang putri berusia lima tahun) sudah ada di sampingku. Membisikkan kalimat-kalimat penyematan, mengingatkanku untuk membaca doa-doa penenang. Entah apa jadinya bila tak ada dia. Aku ingat beberapa kalimat yang dia bisikkan di telingaku kala itu :

‘Ayo, De. Tahan dulu sakitnya. Sabar, sabar, sabar. Kamu pasti kuat. Kamu pasti bisa. Memang begitu sakitnya. Kakak pun dulu sakit. Dan kakak kuat. Jadi kamu juga pasti kuat. Pasti. Ayo dibaca terus doanya. Dibaca terus’.

Aku tidak henti-hentinya berdoa dan berdoa, sambil terus kupandangi jam dinding yang sepertinya lambat sekali berputar. Aku ingat aku mulai berbicara pada Utun. Kuusap-usap perutku sendiri sambil berkata,

‘Utun, kamu keluarnya jangan lama-lama ya. Biar saja mama melahirkan tidak ditemani Papa. Kamu keluar saja segera. Ini sakit sekali rasanya, Nak. Sakit sekali. Papa masih dalam perjalanan. Jadi kamu keluar saja segera ya’.

Pukul delapan kurang lima belas menit, seorang bidan kembali mendatangi ruang rawatku untuk melakukan pengecekan. Ternyata dia bilang, pembukaan sudah sampai di tahap lima. ‘Ibu Tia, ini ibu cepat lho prosesnya. Ibu beruntung sekali’, kudengar ia berkata demikian. Yang kusadari berikutnya adalah aku sudah dibawa ke ruangan bersalin. Banyak sekali suster dan bidan yang ada di sana. Entah berjumlah berapa. Barangkali enam atau tujuh atau delapan. Entah. Mana sempat aku menghitungnya, kan?

Tidak lama kemudian dokter kandungan datang. Dia sempat bertanya, ‘bagaimana ibu Tia, masih mau melahirkan normal, kan? Jika iya, ayo yang semangat’.

Akhirnya proses itu pun tiba. Aku panik, tentu saja. Kekhawatiran-kekhawatiran mulai muncul. Kekhawatiran seperti: apakah anakku akan lahir dengan selamat dan normal segalanya? Apakah aku akan baik-baik saja nanti setelah melahirkan? Apakah aku masih hidup? Karena bila tidak, bagaimana aku bisa mbertemu lagi dengan suamiku? Bagaimana aku akan menggendong bayiku? Ah, memang sudah kemana-mana pikiranku saat itu.

Aku ingat teori melahirkan ‘mengejanlah ketika dokter memintamu mengejan’. Tapi ya Tuhan, aku sungguh tidak bisa menahannya. Ada saat di mana aku mengejan begitu saja tanpa bisa kukendalikan. Proses mengejan terbilang tidak lama. Aku ingat begitu banyak suara-suara menyemangatiku. Suara-suara seperti ‘AYO BU, IBU PASTI BISA’ atau ‘AYO, BU. SEBENTAR LAGI. ITU SUDAH TERLIHAT RAMBUTNYA’ dan ‘AYO, BU. SEMANGAT TERUS. SEDIKIT LAGI’, yang ternyata diteriakkan oleh sejumlah suster dan bidan yang ada di sana. Barangkali memang itu adalah tugas sampingan mereka, selain membantu dokter kandungan tentu. Dan jujur saja, mereka berhasil.

Di tengah perjalanan proses mengejan, dokter beberapa kali mengecek denyut jantung Utun. Sampai pada tahap di mana denyutnya dokter rasa mulai melambat, dia memutuskan untuk menggunakan alat bantu berupa vacum. Iya, Utun berhasil lahir dengan bantuan vacum. Yang lucu dari cerita vacum ini adalah bahwa tepat ketika vacum tersebut hendak digunakan, alat itu justru patah. Dokter sempat bersuara kesal, ‘Ini kok malah patah sih?’, yang membuat aku sedikit panik. Tapi untunglah, mungkin kerusakan alat itu tidak parah sehingga tidak sampai lima menit alat tersebut bisa langsung dipakai.

Pukul delapan lebih tiga puluh delapan. Akhirnya Utun lahir ke dunia ini. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Rasanya tidak ada kebahagiaan sebesar itu. Sungguh. Ini lebih membahagiakan daripada saat aku berhasil masuk ITB, dapat beasiswa S2, atau menerbitkan buku karyaku sendiri. Dan kau tahu Ika, rasanya saat itu aku ingin memeluk Mamaku. Betapa sungguh perjuangannya sebesar ini untuk melahirkanku ke dunia. Sekarang aku tahu. Sekarang aku sudah merasakannya langsung. Memang benar kan, tidak akan bisa benar-benar merasakan sampai hal itu dialami sendiri.

Utun lahir dengan berat badan 3,3 kg, panjang 50 cm, dan pipinya sungguh bulat sekali, seperti aku, ha! Dia akhirnya diadzani oleh kakeknya, karena papanya saat itu belum juga tiba. Saat itu, aku dan suami belum menentukan dengan pasti nama lengkap utun. Kami baru menetapkan nama depannya saja, yaitu Alvaro.

1606988_10152041332568867_1974789326_n

utun

Satu hal yang juga membahagiakan adalah moment ketika suamiku (yang sayangnya masih menunggu pesawat ke Jakarta) menelpon dari bandara di kotanya. Dia berkata, ‘Terima kasih ya, Sayang’.

I know, it was a short sentence.

But you should know, it was priceless.

Rasanya seperti ada yang menetes hangat dari kedua mataku saat itu.

Well, Ika. Sepertinya aku hanya bisa bercerita itu padamu kali ini. Alvaro terbangun dari tidurnya. Gotta go.

Thank you for giving me a chance to write here again. Honestly, it is like a compulsion. Haha. Good day to you.

 

– Tia Setiawati